“Itu ibu2 pada nyari apa ya pak?” Tanya saya ke seorang kakek yang sedang menggendong cucunya di pinggir Pantai Kelecung, Bali.
“Ooh itu lagi ngambilin kayu mas..”
“Maksudnya?”
“Iya itu supaya pantainya jadi bersih.. dan bisa jadi kayu bakar.”
Saya terdiam. Malu dengan pikiran saya. Ternyata sesimple itu. Saya tadinya kira dua ibu-ibu ini mencari kerang, kepiting, atau apapun yg bernilai ekonomis dan bisa diduitin. Matre. Kayak saya.
Saya ternyata kelamaan idup di Jakarta. Baru sadar, udah 10 tahun saya di sana. Mungkin mulai terpengaruh dengan betapa kerasnya kota itu. Betapa ganasnya kita menjadi manusia yang apa-apa selalu dinilai dengan uang. Dan ketika ada orang lain yang melakukan atau menawarkan sesuatu dengan tulus, kita malah curiga. Ni orang pasti ada maunya.
Teori sotoy saya, sistem dan situasi kota nya lah yang membuat manusia Jkt kadang2 jadi ngeselin. Senggol bacok. Curigaan. Dan yang saya alami tadi, bahwa segala sesuatu itu diukur dengan duit. Bahkan kita mau menghirup udara bersih di taman hijau aja perlu ngeluarin duit.
Tidak, saya tidak mengatakan orang Jakarta itu jahat2. Justru sebaliknya. Secara personal, orang Jakarta itu (ada yang) baik, (ada yang) tulus, dan (kadang-kadang klo hoki) menyenangkan. Saya punya banyak kenalan, teman & klien orang Jkt, dan mereka seperti itu.
Dua-tiga tahun belakangan saya jadi lumayan sering ke Bali. Klien saya orang Jkt berinvestasi disini dan beberapa kali butuh pekerjaan interior. Karena udah kenal 2 tahun lebih, mereka “berteman” dengan saya. Sudah tidak menjadi klien yang “kaku” lagi..
Disini saya suka menginap di hostel. Saya suka bertemu dan ngobrol dengan orang baru, mendapatkan cerita dan sudut pandang yang kadang berbeda dengan apa yang saya pikir selama ini. Dan itu menyenangkan.
Tentu hal tersebut bisa kita dapatkan dimana aja. Tapi di Bali ini, suasana keakraban itu bisa saya dapatkan hampir di semua tempat. Bukan hanya di dalem mall, di ruang meeting, atau di taman kota yang harus bayar 100 ribu untuk bisa masuk ke sana.
“Friend in need is a friend indeed.”
Saya mengartikan frasa ini simpel aja. Kita berteman dengan seseorang pasti ada butuhnya. Pasti ada mau nya.
Entah itu karena dia pintar, atau karena dia anak orang kaya, atau karena dia punya link banyak.
Atau… Karena kita butuh dia.
Kita butuh dia karena orangnya menyenangkan, dapat membuat kita menjadi manusia yang juga berguna untuk orang lain. Kita butuh dia untuk berdiskusi, kita butuh dia untuk mendengarkan, juga terkadang mengingatkan apa yang baik dan yang sebaiknya tidak dilakukan.
Mungkin saya perlu mengoreksi satu paragraf di atas. Teman saya tidak banyak. Teman saya bisa dihitung dengan jari. Orang-orang dekat yang dapat memanggil saya kapan saja (semampu saya) dan juga menyelamatkan kewarasan saya dari situasi yang kadang-kadang sangat ngehe untuk dilewati.
Dan di Bali ini saya bertemu “teman-teman” baru. Ada yang pencariannya menjadi surfer sekaligus penjaga villa orang Swedia, ada yang perantara jual beli tanah, ada yang penjual bebek goreng pinggir jalan dan ternyata dia eks sous chef Hyatt Sanur.
Saya mungkin udah sedikit lupa, betapa menyenangkannya hidup ketika kita tidak ribet. Tidak menilai orang sembarangan hanya berdasarkan label yang menempel di orang itu. Tidak mengukur orang dari apakah dia akan berguna untuk kita dari sisi materi (duit).
Buat siapa pun yang baca ini, jagalah teman kalian. Beneran, itu gak ada bandingannya dengan apapun. Punya duit 500 juta memang enak, tapi punya teman yang bisa kalian ajak ketawa, berbodoh2, dan yang terpenting bisa membantu kita untuk jadi manusia yang lebih baik lagi.
Tinggal teman idupnya aja ni yg gw belum punya. #Curcol #siapataunemu #jodohditanganTuhan #ktpditangansatpam
Pink Barrel Bali – surf & stay Medewi, 06112020