About Time – sebuah review

Dulu sy setiap ditanya “pilem paling bagus menurut lo apa an?” Sy selalu jawab “mana bisa begitu. Terlalu banyak. Kan pilem beda2..”

Setelah ntn About Time, saya bisa jawab, ini film favorit saya.

Malem ini sy nonton lagi, mungkin udah 8 atau 9 kali sy tonton. Ketika kita menonton film lebih dari 2x, jalur ceritanya pasti udah ketebak. Namun disitu kita akan aware terhadap hal2 minor yg ditambahkan oleh si director, yg justru disitu ternyata kita baru bisa sadar, ooh maksudnya begitu toohh.

Untuk yang belum pernah ntn film ini, jalur ceritanya yaa standar film drama romantis ada komedinya dikit. Intinya:

1. Ad cowok tiba2 ketemu cewek. Mereka saling suka, muncul masalah2, tapi dengan kekuatan cintaahhh akhirnya mereka bisa idup bahagia selamanya.
2. Udah.
3. Ya emang begitu aja formulanya.
4. Trus buat apa dibikin list?
5. Biar kesannya sistematis aja pak.
6. Ok

Saya males masukin sinopsis film ketika nulis review film. Soalnya udah banyak. –> https://en.m.wikipedia.org/wiki/About_Time_(2013_film)

Seorang teman pernah ngmg “Gw koq kurang suka ya an, agak2 cheesy menurut gw. Masak iya time travelingnya gampang gitu..”

Ya gapapa. Selera. Sama kyk ada orang yang suka banget duren, dan ada yg benci banget.

Saya sangat suka bagaimana penggambaran karakter di film ini. Richard Curtis selaku sutradara memang mampu memberikan sentuhan unik pada masing2 karakter di karya dia. Sebagai yg bikin Love Actually, bagi Curtis ini mungkin hal yang gampang.

Contoh, karakter Harry, sang seniman penulis naskah drama. Dalam sebuah scene yg menyenangkan dan optimis, karakter ini dikenalkan ke penonton. And his very first line was “What, THE FUCK, DO YOU WANT??”

😂😂😂

Selain penciptaan & pendetilan karakter, Curtis juga sangat pandai dalam menjahit scene. Adegan demi adegan dibuat mengalir tanpa jeda. Perubahan emosi dan tempo cerita film ini sangat cepat. Sepertinya sangat banyak yang ingin disampaikan oleh Curtis, namun terbatas pada medium film yg cuma 2 jam saja.

Saya juga selalu suka humor sarkastic a la british (atau a la directornya?) Pada scene ketika Tim si karakter utama mengenalkan Mary -sang pacar- ke ibunya, si ibu memuji calon mantunya dan berkata kurang lebih:

“Its very bad for a girl to be too pretty.”
“Its stop her developing a sense of humor. Or a personality.”

Wkwkwkwkwk, what a line. Dan becandaan sarkas kyk gini bertebaran dari awal sampe akhir film. Menyenangkan.

Karakter dan dialog adalah kekuatan utama film ini. Ini lah kelebihannya jika director juga sekaligus writer. Proses menerjemahkan naskah ke dalam adegan menjadi lebih matang dan nyata. Curtis mungkin sudah membayangkan bagaimana reaksi masing2 karakter, gestur tubuh, dan intonasi suara ketika para karakter ini berdialog. Jadi ketika dituangkan ke dalam sebuah scene, semuanya berasa real, natural, nyata.

Di balik hal2 teknis, ada kedekatan emosional antara saya dengan film ini. Ceritanya mirip. Ini yang mungkin membuat saya ngerasa ok this is perfect movie for me.

Cowok kurus gak jelas loser dalam percintaan. Yups it so me.

Tapi bedanya, dia menemukan his true love. Me? I wasn’t. Or maybe, I thought before. But actually, I wasn’t. (Ok saya pernah nikah terus akhirnya pisah, anak ikut saya dst dsb.. Gitu deh. Cukup backstory nya).

Bagi saya, film adalah sebuah bentuk seni yang menggambarkan hidup & pengalaman si kreatornya. Mungkin bukan pengalaman pribadi, namun berbagai referensi dan cerita yang ia tahu, ia dituangkan ke dalam karya tersebut. Karena membaca buku, mendengarkan lagu, menonton film, juga adalah sebuah pengalaman.

Idup kita terbatas. Paling umur 80-90 tahun juga udah mati. Tidak semua pengalaman kita bisa lakukan/rasakan. Menonton film ini, paling tidak saya bisa sedikit “mengalami” perasaan ideal tentang true love. Tentang keluarga.

Tentang betapa berharganya waktu dan terkadang, kita terlalu boros menggunakannya.

Atau terlalu bodoh untuk tidak menggunakannya dengan benar.

Nonton deh film ini. Di netflix udah ada.